Misionaris  Australia membina dan mendidik Orang papua di alam terbuka,  (Foto:Ilst/Km)
Oleh : Benni Pakage
Bapak saya adalah seorang guru tamatan ODO (Opleidingsschool voor Dorpsonderwijzer) yang jadi kuli negara ini selama sekitar 70 tahun dengan gaji pertama hanya 700 rupih, dan bertugas di daerah Asmat dari tahun 1968-1980 dan menjadi guru pagar negara di perbatasan Merauke Papua Neuw Guinea di tahun berikutnya. Kami menjadi saksi bagaiman dia membangun sekolah dengan dinding gaba – gaba (pelepa sagu) dan atap daun sagu. Dan untuk anak - anak bisa datang ke sekolah, dia datangi rumah mereka dan ajak anak - anak sambil menciptakan permaian di halaman sekolah agar mereka mudah di ajak masuk kelas untuk belajar membaca dan berhitung.
Dampak dari keseriusan dia terhadap pendidikan ini, membuat dia lupa urus kenaikan gaji dan kenaikat pangkat. Sehingga saat pensiun, gaji terakhirnya, Rp.2,750,000; tahun 1998, dan pension dengan pangkat II-d. Waktu itu, untuk menutupi kekurangan uang, dia harus mengakali gajinya dengan cara, 2 tahun sekali ambil gaji di kota tanpa pusing untuk urus kenaikan pangkat dan gaji. Setelah ambil gajinya lain di pakai untuk kebutuhan keluarga, dia juga membeli pakaian untuk bagi warga yang saat itu mayoritas belum berbusana pakaian.
Berdasarkan latar belakang diatas muncul ide saya untuk menulis artikel ini, setelah membaca tanggapan Menteri Pendidikan Indonesia Anis Baswedan yang beranggapan, Separatisme Papua lahir karena Tingkat Pendidikan yang rendah kepada wartawan CNN Indo pada 15/7 2016). Dimana kami awalnya heran dengan pernyataan pak menteri yang mengeluarkan pernyataan seakan negara ini baru merdeka, sehingga Kita harus bicara mengenai sarana belajar dan kemampuan guru yang akan akan berdampak pada kwalitas Sumber Daya Manusia orang Papua. Pada hal memasuki 71 tahun Indonesia Merdeka dengan tingkat pendapatan negara yang besar, Indonesia telah gagal membangun pendidikan di tanah Papua tidak seperti sebelumnya.
Sebenarnya sedikit logis, bila pak menteri katakan “Pemerintah telah membongkar pondasi Pendidikan di tanah Papua”. Karena menurut kami, pondasi pendidikan dahulu di masa kekuasaan Belanda di tanah Papua, telah menciptakan Sumber Daya Manusia Papua khusunya orang tua kami melalui sekolah yang di kelola gereja dengan baik. Walau mereka mengenyam pendidikan setingkat SD - SMA, mereka memiliki kwalitas pendidikan dan tingkat pengabdian yang luar biasa. Dengan dasar pemahaman itu, Kami berusaha untuk menelusuri, apa keunggulan Belanda dan gereja meletakan pondasi pendidikan di tanah papua dengan berbagai keterbatasan yang ada saat itu?. Dari hasil penelusuran, Kami menemukan jawaban, dimana Belanda bersama gereja menerapakan sistim pendidikan Kontekstual (Contextual teaching and Learning) yang awalnya diusulkan oleh John Dewey pada tahun 1916 yang menyarankan agar kurikulum dan metodologi pembelajaran dikaitkan langsung dengan minat dan pengalaman siswa yang di populerkan oleh “United state departement of Education” dengan gaya belajar lebih pada gaya belajar Visual. Penerapan teory ini seakan Belanda telah mengetahui bahwa orang papua yang sekolah ini akan mengerti dalam proses belajar.
Demikian hal proses digereja sebagai pengelola pendidikan. Mereka hanya berperan membentuk Moral dan etika dalam pelayanan kedepan di luar pendidikan umum yang di siapkan pemerintah. Sehingga proses kecil ini menghasilkan Sumber Daya Manusia yang baik saat itu. Mengapa? Sebagai contoh; Kami tertarik dengan sebuah foto yang di naikan di status Facebook sdr. Jhon Anari di Plaza 777 Amerika beberapa waktu lalu. Dimana tokoh Injil sekaligus guru orang papua I.S.Kijne mengajar lagu paduan suara kepada anak - anak kampung Yoka Sentani Timur di alam terbuka yang berlatar belakang Danau Sentani dan gunung Cycloop yang Indah. Belajar di alam terbuka (Visual) ini membuat kami mengagumi I.S Keije yang pada tahun 1947 telah menerapkan teory pendidikan kontektual dengan gaya belajar secara Visual, dimana dia berusaha menyatukan anak - anak Yoka yang di latar belakangi danau Sentani dan gunung Cycloop yang indah dengan kalimat dan not yang ada di dalam teks latihan. Dalam pendidikan demikian, I.S Kijne bukan hanya sekedar mengajar lagu, namun sedang memasukan nilai seni, dan keindahan alam dalam hati dan pikiran anak – anak Papua yang belajar ini sehingga mereka di jadikan satu antara kata dalam teks latihan dan keindahan alam di sekeliling mereka. Kami yakin pasti mereka hebat semua saat itu karena lagu mereka adalah ungkapan hati mereka yang sesungguhnya.
Wajar saja mayoritas orang tua kami dahulu bisa menyanyikan berbagai lagu dengan berbekal pengetahuan kesenian. Padahal Teory Kontektual dengan gaya belajar Visual, Kinestetik dan Auditory ini sendiri baru mulai, dan coba di ajarkan negara ini, setelah pemerintah Indonesia mulai menerapkan guru bersertifikasi pada tahun 2011. Hahaheee itu yang rendahka?. Sehingga kita kritisi, berapa tahun lamanya Indonesia menerapkan teory Kontektual yang dominan populer di Amerika hingga menjadi negara super power saat ini?. Ini bukti, pengelola pendidikan yaitu pemerintah telah menunjukan mereka memiliki kwalitas yang rendah, dan merusak pondasi sistim pendidikan buat orang Papua yang di bangun gereja, hanya karena kecurigaan mereka terhadap Politik Papua Merdeka. Sekitar 50 tahun bangsa Indonesia caplok papua,proses pendidikan jalan tanpa methode belajar dan pembelajaran serta pendekatan dengan pemaksaan dan kekerasan.
Guru yang mereka kirim tidak mengeti banyak tentang teory - teory di kembangkan demi kemajuan peradaban dunia. Kami pernah membaca catatan pelayanan dan pendidikan dari I.S Kijne dan tokoh Pendidikan Katholik di Paniai Herman Tillemans. Dari tulisan mereka ini kami menarik kesimpulan bahwa mereka dalam proses belajar dan pembelajaran memahami betul berbagai Theory Belajar dan pembelajaran, seperti; teory Deskritif dan Preskreptif yang di kembangkan oleh Jerome Seymour Bruner (1/10/1915) yang membagi proses belajar dan pembelajaran yang artinya, proses dalam siswa belajar dan proses guru menyiapkan proses belajar yang lebih menekankan pada proses bukan pada hasil belajar,dengan asumsi proses kesiapan siswa dan guru harus bagus agar kwalitasnya baik. Kemudian mereka juga mengerti theory Behaviors yang di kembangkan oleh Professor psikologi pendidikan di Connecticut College Robert Mills Gagne (21/8/1916 - 28/4/2002), dan Emille Barlinear 1851 yang lebih menekankan tentang perubahan tingkah laku manusia sebagai hasil dari pengalaman. Teory Teory belajar Kongnitif yang di kembangkan oleh Psikolog Swiss Jean Piaget (9/8/1896) yang lebih menekankan pada proses kesiapan belajar lebih penting dari pada perubahan tigka laku, kemudian Teory Belajar kontruktivisme yang di kembangkan oleh Driver dan Arthur Clive Heward Bell yang lahir (16/9/ 1881- 1964), Theory Belajar Humanistik yang di populerkan oleh Abraham Harold Moslow (1 /4/1908- 8/06/ 1970) dan Carl Ransom Rogers (8/1/1902 – 4/4/1987) yang lebih menekankan pada bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal positif, Teory Sibermetik yang istilah nya di Populerkan oleh Norbet Wiener (1894–1964) yang mengatakan; belajar adalah proses pengelolaan informasi dan di kembagkan oleh Landa,Pask dan Scott, kemudian Theory Revolusi Sosiokultural yang di kembangkan oleh Piagiet dan psikolog asal Rusia Lev Vygotsky (5/11/1896 – 11/06/ 1934) yang menolak pembelajaran sentralistik,kemudian Theory Manusia pembelajaran dan Teory Quantum Learning yang di kembangkan oleh Georgy Lasanov yang lebih menekankan pada aspek - aspek pembelajaran yang mempengaruhi proses belajar seperti lingkungan bermain dan sekolah.
Selain mereka juga memahami Teory Belajar Komparatif dan Kolaboratif yang di kembangkan oleh Ted Panits yang lebih menekankan pada proses belajar pada kelompok kecil. Serta Teory Leason Study yang di kembangkan oleh Makoto Yosidha dan di kembangkan oleh Catharine Lewis yang mempengaruhi perkembangan Jepang yang lebih menekankan peningkatan kemampuan belajar siswa melalui perencanaan,dan penelitian hasil yang di capai siswa , serta Theory Problem Solving dan Proplem Posing yang di kembangkan untuk menyelesaiakn msalah - masalah siswa dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Mungkin hasil dari mengerti itu semua, waktu kami jalan - jalan di Mall Jayapura, di sebuah Toko buku milik gereja, kami melihat sebuah buku bacaan yang berjudul “Kota Emas &Tom dan Regy” harganya 20 ribu. Kami dengan senang hati beli buku itu karena kami ingat buku itu adalah buku bacaan orang tua kami saat Sekolah Rakyat(SR) di Kampung Yakagopa (Bomou I) Deiyai sekarang tahun 1954. Menurut cerita, Tom adalah Tom Wospakrik (orang Papua) yang setia mendampingi Regi istrinya I.S.Kijne selama masa pelayanan keluarga Jerman ini di Serui (ambay). Ini sebuah buku muatan lokal yang di tulis I.S Kijne buat anak - anak jaman itu, yang lahir dari aktifitas Istri dan pembantu mereka Tom. 
Harapnnya membangun imaginasi Moral, etika dalam kebersamaan hidup. Sehingga Mama saya selalu tersenyum lebar bila cerita mengenai Tom dan Regy dia ceritakan buat kami. Katanya Tom itu kulit hitam dan Regy itu kulit putih. Saya kagum karena mereka sudah tua, tetapi masih juga mengingat isi lengkap buku itu. Dan kami sambut buku ini karena, I.S Keije telah mengetahui bahwa,mayoritas orang Papua di ajar oleh orang tuanya melalui pendidikan narasi atau cerita untuk membentuk watak dan kepribadian mereka. Dan buktinya, betul semua suku di papua, waktu di kampung sebelum tidur, di hutan, sungai, rawa, laut mereka di ceritakan tentang alam, dongeng anak yatim piatu, perang, menolong orang atau nilai baik dan buruknya. I.S Kijne sudah mendalaminya.
Sebagai perbandiingan,saya membaca sebuah buku yang di tulis oleh Moses Kilangin pioner orang Amungme yang sekitar tahun 1954 lulus sekolah di ODO (Opleidingsschool voor Dorpsonderwijzer) Fak – Fak dengan judul; Moses Kilangin “ Uru Meky “ di terbirkan oleh penerbit Tabura Jayapura 2007. Sebagian dari buku ini menceritakan; pada tahun 1956 Moses dari Kugapa (bibida) Paniai bersama Pater Missael Kammarer orang Belanda berjalan kaki ke Amkayagama Tzinga Tebagapura untuk membangun gereja dan sekolah. Dimana mereka berjalan selama 1 minggu naik turun gunung hingga sampai di daerah orang Amungsa. Kemudian sendiri menebang kayu,gergaji dan membangun sekolah buat anak - anak dan mengajar. Bila kita baca buku ini, Moses juga mengajar dengan teory Kontektual tetapi berbasis Masalah. Dimana dia mengajar anak - anak melalu menyanyi bahasa daerah yang dia karang sendiri dan menggunakan alat praga batu dan kayu untuk menghitung. Ini yang di sebut pendidikan kontekstual. 
Kemudian lebih dari itu muncul pertanyaan lanjutan di luar proses pendidikan tadi. Pertanyaannya adalah, kenapa Moses harus jalan selama 5 hari ke Tzinga Tembagapura? atau nilai apa yang mendorong Moses berjalan jauh.Spirit apa yang ada didalam diri Moses? Lalu apakah Moses di kasih uang yang besar sehingga bisa mengambil resiko perjalanan ini? Atau perhatian pemerintah belanda saat itu bagaimana?. Saya pikir jawaban dari pertanyaan - pertanyaan ini menjadi roh kemajuan pendidikan di papua saat itu. Dari hasil penelusuran saya, saya menemukan; Moses menjadikan guru bukan sebagai profesi dia tetapi sebagai pelayanan. Karena bila guru di jadikan profesi, maka dia harus profesional dan dia harus dinilai dengan profit (uang). Moses jadikan guru adalah pelayanan yang harus dia pertanggung jawabkan kepada Allah sehingga mengejar untuk mereka adalah nilai keselamatan pribadi yang berdampak pada orang lain. Fasilitas belajar ada atau tidak untuk kelompok ini bukan ukuran. Kesetian, ketabahan,kejujuran,etika dan Moral menjadi ukuran keberhasilan pendidikan di tanah papua saat itu. Bukan ukuran kepentingan dan Politik seperti sekarang.
Dimana saat ini seorang guru bisa mendapat gaji hingga 7 juta dan yang sertifikasi 12 juta, bahkan ada gaji 13,gaji kekurangan dan sebaginya.Namun para guru mayoritas malas ke tempat tugas dengan berbagai alasan karena spirit pertanggung jawaban iman dia telah di musnahkan dengan sistim baru yang indonesia kembangkan. Kami temukan di kecamatan Yigi Kabupaten Nduga beberapa waktu lalu. Guru datang ke tempat tugas hanya menjelang ujian sekolah. Itu juga guru menyuruh siapkan ayam satu ekor kepada sorang siswa agar bisa lulus dan jawaban sekolah di isi oleh guru buat siswanya karena di berikan ayam. Padahal di tahun 70 an tempat ini sudah berhasil meloloskan anak Sekolah dasar saat sekolah di kelola gereja. Pemerintah bukannya mendukung sekolah yang di kelola gereja namun mengelola kelemahan dari sekolah yang di kelola gereja untuk merusak kwantitas dan Kwalitas pendidikan dengan mendirikan sekolah Inpres dan negeri sebagai tandingan. 
Dengan awalnya memberikan jatah pelayaanan yang dianggap cukup untuk saat itu. Dimana beras,gaji,kenaikan pangkat, lancar di urus melalui kantor Camat di Kecamatan. Dampak banyak guru dan murid pindah ke sekolah yang di anggap murah dan mudah ini. Namun lambat laun,sekolah baru yang mudah dan murah ini mempersulit mereka sehingga masa depan mereka tidak jelas. Sekolah Yayasan yang sejak dahulu di kelola oleh Gereja mati karena eksodus guru ke sekolah negeri. Sprit guru sebagai pelayan di ganti dengan menjadi pekerjaan guru sebagai Profesi (guru upahan) yang dinilai dengan harta benda. Sebenarnya tindakan ini, dampak dari ketakutan Indonesia akan Politik Papua Merdeka. Dimana pemerintah beranggapan bahwa,sekolah swasta ini memproduksi lulusan anti negara. Sekian.

 Penulis adalah Pemerhati Pendidikan Papua
sumber:http://www.kabarmapegaa.com/2016/07/mutu-pendidikan-di-papua-dari-guru.html